By Republika Newsroom
22 Maret 2009 pukul 17:54:00
Sekarang ini, banyak umat Islam yang tidak mengenali lagi peradabannya sendiri. Bahkan, sebagian pemikir dan intelektual Muslim bangga dengan peradaban dan pemikiran yang didapatkan dari Barat. Bahkan, lembaga pendidikan tinggi pun kini banyak yang menerapkan pemikiran orientalis ke dalam studi Islam. Fenomena untuk menerapkan cara berpikir posmodernisme yang mengusung doktrin liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme, dan sebagainya telah banyak diagung-agungkan. ”Padahal, peradaban Barat itu tidak jelas asal usulnya,” kata Dr Hamid Fahmy Zarkasy kepada Republika.Ia mengatakan, sudah saatnya umat Islam menelaah kembali cara berpikir yang komprehensif tentang peradaban Islam. ”Sebab, peradaban Islam itu adalah peradaban ilmu. Ia sangat kuat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat tinggi,” tegasnya. Berikut penuturan Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Jakarta ini.
Saat ini, tampaknya peradaban Islam secara perlahan-lahan mulai kehilangan rohnya (spirit). Umat Islam seakan bangga dengan peradaban yang berbau Barat. Bagaimana pendapat Bapak mengenai hal ini?
Anda benar. Sebab, arus modernisme dan posmodernisme yang mengalir ke dunia Islam bersamaan dengan globalisasi yang telah mengakibatkan proses desakralisasi ilmu. Ini di antaranya merupakan akibat dari apa yang disebut oleh Weber sebagai disenchantment of nature dan deconsencration of value. Keduanya merupakan inti dari doktrin sekularisme. Dengan sekularisme, Muslim kehilangan spiritualitas dalam berbagai bidang yang pada gilirannya kehilangan moralitas (adab). Moralitas kini tidak diukur dengan wahyu, tapi dengan kepantasan publik dan dengan ukuran moralitas Barat yang diklaim sebagai universal itu. Bukan hanya itu, meski sekularisme telah banyak mengubah cara berpikir Muslim, Barat masih terus berusaha membaratkan Muslim.
Kini, Barat mengembuskan arus baru yang disebut liberalisme dan liberalisasi. Dengan doktrin ini, Muslim menjadi rela meninggalkan otoritas, moralitas, dan tradisi intelektual-spiritual Islam sehingga Muslim berpaling kepada ‘kehebatan’ peradaban dan pemikiran Barat. Kini, dunia Islam dikuasai oleh peradaban materi dan hedonisme. Rasionalisme, empirisme, dan skeptisisme menjadi standar berpikir Muslim dan spiritualisme disingkirkan.
Apakah pandangan ini karena adanya pemutarbalikan fakta atau sejarah tentang peradaban Islam oleh Barat?
Bukan karena pemutarbalikan fakta, tapi pencampuran konsep-konsep Barat dengan konsep-konsep Islam atau masuknya konsep-konsep Barat ke dalam pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena Muslim diyakinkan bahwa antara Islam dan Barat tidak memiliki perbedaan yang penting sehingga yang terpengaruh (westernized) tidak melihat adanya kerancuan akibat percampuran itu. Muslim yang westernized menjadi enggan merujuk kepada masa lalu mereka sebagai pelajaran, tapi sangat bersemangat belajar dari masa lalu Barat.
Mengapa lembaga pendidikan tinggi, seperti IAIN atau UIN, banyak dipandang sebagai sarang atau tempat berkembangnya pola pemikiran Barat? Bahkan, mahasiswa Islam seakan bangga bila mengadopsi pemikiran Barat dibandingkan pemikiran tokoh-tokoh Muslim. Mereka bangga dengan paham sekularisme, liberalisme, dan lain sebagainya. Menurut Anda?
Mungkin karena di beberapa IAIN, STAIN, dan UIN terdapat fenomena di kalangan dosen ataupun mahasiswa yang berusaha menerapkan pemikiran orientalis ke dalam studi Islam. Lebih umum lagi, fenomena untuk menerapkan cara berpikir posmodernisme itu mengusung doktrin liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme, dan sebagainya.Faktanya, kecenderungan membaca ajaran Islam dari perspektif liberal, pluralisme, gender, dan sebagainya memang ada ketimbang membaca konsep-konsep Barat dari kacamata atau visi keislaman.
Bahkan, yang tidak bisa ditutupi lagi adalah adanya kebanggaan di kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam untuk menyebut dan menerapkan konsep-konsep pemikir Barat. Di situ, tokoh-tokoh Barat, seperti Descartes, Kant, Francis Bacon, Derrida, Peter Berger, Emilio Betti, Paul Ricour, Gadamer, Habermas, dan lainnya, dirujuk secara apresiatif. Sedangkan, cendekiawan Muslim, seperti al-Amidi, al-Suyuthi, al-Tabari, al-Ghazali, al-Razi, Imam Syafii, Ibn Maskawayh, Ibn Taimiyah, dan lainnya hanya dikaji dengan sangat kritis.
Ini memang bukan generalisasi yang valid, tapi kesadaran bahwa ini merupakan fenomena yang kurang menguntungkan bagi pembangunan peradaban Islam yang perlu ditimbulkan. Di kalangan cendekiawan Muslim di Indonesia, memang telah terdapat pendapat bahwa untuk dapat maju, Muslim harus belajar dari Barat dan meniru Barat. Jadi, tidak heran jika ada Muslim yang bangga menjadi liberal dan sekuler.
Bagaimana sesungguhnya peradaban Islam itu?
Pertanyaan Anda adalah pertanyaan yang fenomenal. Pertanyaan ini tidak pernah muncul di zaman al-Ghazali, misalnya. Sebab, peradaban Islam saat itu begitu dominan. Pertanyaan ini memang harus muncul sekarang ini karena arus globalisasi, liberalisasi, dan westernisasi telah menghilangkan berbagai identitas, termasuk identitas peradaban Islam.
Tidak sedikit umat Islam yang tidak lagi mengenali peradabannya sendiri. Substansi peradaban Islam ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit, dan memberi rahmat bagi alam semesta (Lihat Alquran surah Ibrahim 24-25). Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis. Karena faktor ilmu yang bersumber dari konsep-konsep seminal dalam Alquran, peradaban pun berkembang. Dari pemahaman terhadap Alquran, lahirlah tradisi intelektual Islam. Dari tradisi yang membentuk komunitas itu, lahirlah konsep-konsep keilmuan dan akhirnya disiplin keilmuan Islam. Dari ilmu, lahirlah sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya Islam. Jadi, peradaban Islam adalah peradaban ilmu.
Lalu, adakah upaya yang bisa dilakukan untuk meluruskan pandangan tersebut?
Maksudnya untuk memahami kembali identitas tersebut? Ya, dengan melacak atau menelusuri kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. Artinya, kita harus mencari dan mendefinisikan ulang konsep-konsep penting dalam Islam yang relevan dan dibutuhkan masyarakat sekarang.Selain itu, konsep-konsep Islam yang telah tercampur dengan konsep-konsep Barat itu perlu dibersihkan secara epistemologis. Ini jangan diartikan sebagai anti-Barat. Sebab, ini adalah suatu proses wajar dalam setiap peradaban. Barat sendiri ketika mentransfer ilmu pengetahuan Islam di abad pertengahan juga melakukan hal yang sama.
Lalu, apa saja tantangan pemikiran Islam kontemporer sekarang ini?
Tantangan pemikiran kita ada dua. Pertama, negasi. Kedua, afirmasi. Negasi artinya melakukan penolakan konsep-konsep asing yang bertentangan dan merusak peradaban Islam. Ini bukan hanya sekadar menolak atau membuang, tapi juga memproses secara epistemologis bagaimana cara menghilangkan konsep-konsep itu dari alam pikiran Muslim.Maka dari itu, kajian kritis Barat dalam bentuk oksidentalisme diperlukan. Tidak salah pula jika kita belajar dari Barat sendiri bagaimana mereka mengkritik konsep-konsep yang tidak dapat diterima nalar. Seperti kritikan PP Grasse dalam L’homme Accusation yang mengkritik teori evolusi Darwin atau Oswald Spengler dalam The Decline of The West.
Afirmasi adalah melakukan identifikasi konsep-konsep penting dalam Islam. Logika sederhananya, kalau Muslim menolak konsep-konsep Barat atau asing lainnya, Muslim harus dapat memberikan alternatifnya. Sebab, umat Islam sekarang sudah merasa enjoy dengan konsep-konsep dan sistem pemikiran dan peradaban Barat. Mengkritik Barat sekarang ini seperti mengkritik saudara kita sendiri. Begitulah keadaannya.
Dari mana sesungguhnya pola pemikiran dan peradaban Barat itu? Benarkah dia berasal dari Yunani? Siapakah tokoh utama pemikir Barat yang mulai memutarbalikkan sejarah ini?
Barat itu peradaban yang tidak jelas asal usulnya. Artinya, tidak berasal dari satu sumber atau satu tempat kelahiran. Barat adalah peradaban yang cara berpikirnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani, sistem hukumnya diilhami oleh Romawi, cara hidupnya didasari oleh tradisi bangsa-bangsa Eropa yang berbeda-beda, seperti Jerman, Prancis, Inggris, Celtic, dan sebagainya. Sedangkan, kepercayaannya dipengaruhi oleh agama Kristen dan Yahudi.
Kita tidak bisa menyebut tokoh karena mana yang mentransfer dan membaratkan pemikiran Islam. Ini adalah kerja massal. Sekadar contoh saja, David Hume yang menolak kausalitas itu telah meniru pemikiran al-Ghazali. Tapi, pemikiran al-Ghazali yang menyebutkan adanya faktor X, yaitu kehendak Tuhan dalam kausalitas itu dihilangkan. Di antaranya, dari sini kemudian sains berkembang tanpa melibatkan teologi atau kebenaran transenden.
Peradaban Islam pernah berjaya. Sejak kapan era itu dimulai? Contohnya seperti apa?
Kejayaan peradaban Islam yang sebenarnya terjadi sejak Nabi berhasil mendirikan negara Madinah. Kemudian, mencapai puncak kejayaannya ketika konsep-konsep seminal dalam Alquran ditafsirkan dan dikembangkan menjadi disiplin ilmu dengan tradisi intelektual yang begitu semarak. Itu bermula dari zaman kekhalifahan Umayyah di Damaskus dan juga di Cordoba serta dilanjutkan zaman kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Contoh kejayaan itu dapat dilihat dari bermunculannya ilmuwan-ilmuwan Muslim dalam berbagai disiplin ilmu dengan karya-karyanya yang monumental.
Seiring dengan berkembangnya ilmu itu, berkembang pula kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan agama. Masyarakat menjadi sejahtera lahir dan batin. Dalam kehidupan publik, sejarawan mencatat bahwa ketika London gelap gulita di malam hari dan di Prancis becek di waktu hujan, di Cordoba dan Baghdad jalan-jalannya mulus dan di malam hari terang benderang. Koleksi buku seorang ulama di Baghdad mencapai 400 ribu judul, sementara isi perpustakaan raja Prancis hanya 400 judul buku.
Bagaimana caranya agar umat Islam sekarang mengembalikan kejayaan Islam itu?
Kejayaan peradaban Islam dapat dikembalikan dengan menghidupkan lagi tradisi intelektual dan keilmuan Islam yang sekarang tampak meredup. Dikatakan meredup karena karya-karya Muslim belum mencapai tingkat produktivitas dan kualitas yang tinggi dan yang dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh peradaban lain. Tradisi intelektual dan keilmuan Islam yang kuat akan menghasilkan konsep-konsep yang kuat pula. Kuat landasan teorinya dan kuat metodologinya.
Cendekiawan Muslim tidak dapat melakukan hal itu, kecuali menguasai ilmu pengetahuan Islam dan juga ilmu pengetahuan asing, baik dari Barat, Cina, maupun Jepang. Namun, penguasaan ilmu pengetahuan Islam perlu didahulukan. Karena, dengan itu, Muslim dapat melakukan proses adapsi dan bukan adopsi buta terhadap konsep-konsep dari ilmu pengetahuan asing tersebut. Jika proses itu di balik, yang terjadi bukan mengembalikan kejayaan peradaban Islam, tapi justru menjadikan peradaban Islam terpuruk di bawah hegemoni pengetahuan asing seperti saat ini. Yang lahir bukan peradaban Islam, tapi peradaban asing, seperti Barat.
Pihak Barat menilai ilmu itu netral alias bebas nilai. Benarkah seperti itu? Atau, apakah karena mereka khawatir dengan kemajuan ilmu-ilmu Islam?
Benar dalam arti bebas dari nilai-nilai agama. Akan tetapi, sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak netral. Ilmu pengetahuan dari Barat dipengaruhi oleh nilai budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi Barat. Ilmu pengetahuan Islam diwarnai oleh prinsip-prinsip dalam Alquran. Sebenarnya, orang Barat sendiri, seperti Thomas Kuhn dan beberapa pemikir Barat lainnya, mengakui bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Jika bebas nilai, mengapa hukum waris dalam ilmu fikih tidak dapat diterapkan di Barat.
Prinsip netralitas ini dipicu oleh kondisi agama Kristen di abad pertengahan yang tidak akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga, terjadi kasus pembunuhan tokoh astronom, seperti Bruno, atau kutukan terhadap Galileo dan Copernicus. Kasus ini tampaknya merupakan salah faktor mengapa orang Eropa pada waktu itu berupaya keras memisahkan agama dari politik dan sains. Jadi, tidak terjadi baru-baru ini dan terkait dengan Islam. Tapi, karena watak bangsa-bangsa Eropa yang ingin bebas dan karakter agama Kristen yang seperti itu.
wah… serujuga baca blog nya…
success yah….
Jazakumullah
mantap…., lanjutkan. sangat bermanfaat…,
Toyyib. jazakumullah