Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (harmonis, bahagia dan penuh rahmat) adalah dambaan bagi setiap pasangan suami istri. Namun, pada beberapa pasangan, menciptakan suasana penuh cinta kasih dalam keluarganya itu dirasa sulit. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban masing-masing – yang bersumber dari minimnya pengetahuan agama. Nah, melalui Kitab Adabul Islam fi Nidzamil Usroh Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin \`Alawiy al-Maliki ini menawarkan pemahaman seputar masalah perkawinan, prinsip-prinsip, resep dan jalan keluar atas berbagai problem yang pelik dalam keluarga muslim.
Sesungguhnya Islam sangat menyerukan persatuan antara suami dan istri. Syari\`at Islam menganjurkan agar ikatan perkawinan dijaga sebaik mungkin. Terputusnya ikatan suami istri (cerai) adalah hal yang sangat dibenci. Hal-hal yang menyebabkan suasana tidak kondusif dalam keluarga sebisa mungkin dihindari. Dan pelaku pemutus hubungan ini telah mendapat peringatan keras dari Allah:
Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (QS. Muhammad: 22)
Dalam Kitab Adabul Islam fi Nidzamil Usroh tersebut, Prof. DR. Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki menyebutkan bahwa hal-hal yang menyebabkan terputusnya ikatan keluarga itu antara lain pertama, talak – disebut sebagai salah satu bahaya besar dalam masyarakat. Dampak talak ini akan menimbulkan efek sosial yang buruk terutama bagi anak-anak. Anak akan kehilangan kasih-sayang dan menimbulkan perasan benci. Kedua, zina dan perselingkuhan. Zina merupakan faktor utama perusak keluarga. Keburukan zina akan merobohkan rumah tangga yang mulia. Dapat merendahkan orang-orang besar, mengubah orang yang pemberani menjadi pengecut. Ia adalah noda hitam yang bila menimpa suatu keluarga maka kesucian dan kemuliaan keluarga akan tertutupi.
Ketiga, durhaka kepada orang tua. Wajib dipahami oleh keluarga muslim, bahwa hak orang tua disandingkan dengan hal Allah (QS. al-Isra\` ayat 23). Hubungan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak harus timbal balik. Jika anak berbakti pada orang tua, maka orang tua juga harus mempergauli dan menunaikan hak anak dengan baik.
Diantaranya adalah memberi nama yang baik dan mulia untuk anak, mencukur rambut bayinya, memperlakukan anak dengan baik dan lembut, mencurahkan kasih-sayang, mendidik dan memerintah sholat, mendidik dan mengajar anak, menanamkan rasa cinta kasih kepada semua anggota keluarga dan orang tua dilarang menyumpahi anak dengan sumpah yang jelek.
Jika hal tersebut di atas dapat dimengerti, ditambah tiap anggota keluarga memahami hak dan kewajiban masing-masing, maka lingkungan keluarga akan selalu diliputi rasa cinta dan sayang.
Pemahaman yang baik akan hak dan kewajiban tidak dapat diperoleh kecuali dengan ilmu agama dan akidah yang kuat. Akidah adalah pondasi mempererat dan melindungi ikatan keluarga dari gelombang penyimpangan dan kerusakan. Maka dari itu menjadi keharusan bagi tiap muslim memperhatikan pendidikan agama dalam keluarga dan membekali anak-anaknya sedini mungkin.
Ketika anak sudah memasuki usia dewasa, pembekalan itu hendaknya sudah matang – terutama perkara yang menyangkut etika nikah. Mulai etika memilih calon pasangan yang baik untuk calon wanita dan calon laki-laki, mengkhitbah(melamar), tatacara berkomunikasi dengan calon istri/suami dengan batas-batas yang wajar sesuai dengan syari\`at, mahar, dan mengadakan walimah (pesta pernikahan).
Tidak hanya tentang hukum perkawinan yang harus dibekali, anak yang sudah dewasa juga harus diberi pengetahuan tentang bagaimana hidup mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat. Sebab, setelah menikah, anak akan hidup terpisah dengan orang tua dan bergaul dengan masyarakat (tetangga).
Islam memberi perhatian mengenai etika bergaul dengan tetangga. Hak-hak tetangga, cara menghadapi tetangga yang tidak baik, dan cara menarik simpati tetangga semuanya telah gamblang dijelaskan oleh Nabi Shallahu \`alaihi wa sallam dalam beberapa hadisnya. Yang tak kalah pentingnya adalah bergaul dengan pembantu. Banyak keluarga muslim saat ini belum memahami etika bermu\`amalah dengan pembantu. Islam tidak memperlakukan pembantu itu bagaikan budak yang tidak bisa kita perlakukan sesuka kita. Pembantu juga seorang manusia. Harus diperhatikan kemaslahatannya, bahkan dalam hal pakaian pembantu sekalipun, Islam sangat memberi perhatian.
Institusi keluarga adalah inti dari masyarakat. Karena itu keluarga mesti diperhatikan dengan memelihara ikatan perkawinan dengan ikatan yang benar dan tidak sia-sia. Keluarga yang harmonis akan membantu terciptanya masyarakat yang kondusif. Masyarakat yang porak-poranda dapat bersumber dari keluarga yang tidak harmonis. Kehancuran keluarga biasanya diawali karena keluarga tidak didasari oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari ajaran Islam.
Begitulah Prof. al-Maliki telah menjelaskan secara terperinci dengan bahasa yang mudah dalam kitabnya ini.
Kitab tersebut cocok sekali bila dijadikan sebagai salah satu rujukan bagi praktisi keluarga dan masyarakat luas guna kontribusi bagi terbentuknya masyarakat islami yang dipenuhi dengan kedamaian. Tidak hanya bagi pasangan suami istri buku ini layak dibaca, tapi juga bagi pendidik dan terutama sekali untuk pemuda atau pemudi yang hendak memasuki mahligai rumah tangga – sebagai bekal menciptakan sorga dalam rumah. Khalili@
sumber: http://www.pejuangislam.com
ingin kumembina keluarga,smga mnjd klrga yang SAMARA….
amiiiiiiiiiiin
DAMBAAN SEMUA INSAN
subna allah sungguh luarbiasa ilmunya mkash bnyakya ihwan.
subhanallah